Judul: Dona Dona
Penulis: Toshikazu Kawaguchi
Penerjemah: Pegy Permatasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan ke-3, Agustus 2023
Tebal: 264 cm ; 20 cm
ISBN: 9786020671710
BLURB
Di sebuah
lereng indah tak bernama di Hakodate, Hokkaido, berdiri Kafe Dona Dona yang
menawarkan layanan istimewa kepada pengunjungnya: perjalanan melintasi waktu.
Seperti di Funiculi Funicula yang ada di Tokyo, hal tersebut hanya dapat
dilakukan jika berbagai peraturan yang merepotkan dipenuhi dan dengan secangkir
kopi yang dituangkan oleh perempuan di keluarga Tokita.
Mereka yang
ingin memutar waktu adalah seorang wanita muda yang menyimpan dendam kepada
orangtua yang menjadikannya yatim piatu kesepian, seorang komedian yang
kehilangan tujuan hidup setelah berhasil mewujudkan impian mendiang istrinya,
seorang adik yang khawatir kakaknya takkan bisa tersenyum lagi setelah
kepergiannya, dan seorang pemuda yang tak mampu mengungkapkan cinta terpendam
kepada sahabatnya.
Mungkin
perjalan mereka hanya akan menyisakan kenangan. Namun, kehangatannya akan
membekas dan barangkali, pada akhirnya, menumbuhkan tekad baru untuk menjalani
hidup...
***
LATAR TEMPAT YANG BARU, CERITA YANG MENGHARUKAN DAN PENUH AKAN MAKNA
Novel ini adalah buku ketiga dari seri novel
Funiculi Funicula karyanya Toshikazu Sawaguchi. Kenapa judulnya berbeda dengan
buku sebelumnya? Karena di novel ini latar tempatnya yang berbeda dengan buku
sebelumnya yang cafenya terletak di rubanah, kota Tokyo. Di novel ini, cafenya
terletak di Hakodate, Hokkaido, yang memiliki banyak lereng dan tempat
kelewatan para turis-turis yang mengunjungi wisata tempat tersebut.
Aku suka bagaimana novel ini tetap memiliki
keterhubungan satu sama lain dengan buku sebelumnya. Terlihat di awal cerita
ketika Nagare sedang menelpon Kei—istrinya, yang mana ini sempat dibahas di
buku pertama ketika Kei pergi ke masa depan. Kemudian penulis membahas satu per
satu kenapa Nagare berada di Hakodate, ditemani oleh Kazu dan anaknya, yaitu
Sachi sebagai penerus ibunya untuk menuangkan kopi pergi ke masa lalu, dan
memperkenalkan tokoh-tokoh baru di cafe Dona Dona ini.
Seperti di novel sebelumnya, di awal cerita
penulis langsung memperkenalkan tokoh-tokoh baru yang sebenarnya itu agak
menyulitkan pembaca karena harus mengingat dan dalam satu waktu juga memahami
isi ceritanya. Tapi karena sudah tau dari pengalaman membaca novel sebelumnya,
jadi tidak terlalu terbebani dengan gaya penulis yang seperti itu.
Kalau membanding dengan novel pertama dan
keduanya, di novel ini untuk pembukaannya bagiku cukup ringan sih, tidak
terlalu terbebani dan membingungkan seperti di novel sebelumnya. Juga aku suka
latar tempat cafe Dona Dona ini, karena lebih fresh, berwarna dan
kontras dibanding di cafe Funiculi Funicula, memang karena tempatnya yang dekat
dengan laut.
Sama seperti di novel sebelumnya, di novel
ini ada empat cerita, tentunya sangat mengharukan, sedih, menyesakkan hati juga
menghangatkan hati, tapi diiringi dengan perasaan optimis seperti berjuang dan
semangat kembali menjalani kehidupan yang ada, bahwa orang yang telah meninggalkan
kita lebih dahulu sebenarnya selalu ada di dalam hati kita dan bersama kita.
Aku suka bagaimana penulis bisa memainkan emosional
pembaca sehingga pembaca bisa merasakan penderitaan, rasa sakit, kesedihan
ataupun kesepian yang dialami oleh para tokoh tersebut. Dengan bahasa yang ringan,
mudah dan nyaman diikuti, penulis bisa membuat aku sebagai pembaca merasa dekat
secara emosional dan terkoneksi dengan para tokoh.
Baca juga: Funiculi Funicula (novel pertama)
***
Pada cerita pertama aku cukup berekspektasi
tinggi, karena menceritakan hubungan antara seorang anak dengan orangtuanya
yang meninggal. Mungkin karena sudah terpotong dengan perkenalan pada awal
cerita, jadi ceritanya kurang maksimal dan terkesan singkat jadinya.
Maksudku, ceritanya memang bagus dan penuh
akan makna, tapi kalau saja penulis menambahkan sentuhan lebih emosional lagi
dan kedekatan antara Yayoi dan orangtuanya, wah itu bakal the best sih. Tapi,
jujur cerita pertama ini bagiku punya makna yang cukup dalam, karena aku tau
bagaimana rasanya ketika kehilangan orangtua. Jadi ketika membacanya sampai
habis, itu sedikit banyak memberiku semacam perasaan positif dan semangat untuk
diriku sendiri agar selalu bertahan dan berjuang dalam menjalani hidup.
Untuk cerita kedua mengenai hubungan seorang
lelaki yang ingin menemui kembali istrinya yang meninggal. Sempat ada beberapa
kilas balik untuk menjelaskan latar belakang tokohnya. Jujur pada cerita kedua
ini hubungan antara Todoroki dan Setsuko sangat kuat dan sangat emosional.
Apalagi ketika Setsuko sadar kenapa Todoroki datang ke masa lalu untuk
menemuinya. Dialog antar mereka berdua bagiku sangat heartbreak dan
sedih banget sih. Really good story, huhuhu....
Kemudian cerita ketiga mengenai Reiko yang
ingin menemui adiknya, Yukika yang meninggal karena penyakit. Pada cerita ini,
disinggung sedikit mengenai isu mental health yang dialami Reiko.
Setelah membaca latar belakang kehidupan Reiko, aku bisa memahami kenapa dia
mengalami kecemasan berlebihan bahkan sudah masuk fase depresi, yang tidak mau
menerima kenyataan—yaitu meninggalnya Yukika, dan hidup di dalam halusinasi
atau kenyataan palsu.
Aku suka penulis memasukkan isu kesehatan
mental disini yang sedikit banyak orang-orang merasa terwakilkan dengan hal
tersebut. Menerima kenyataan, yaitu meninggalnya seseorang yang kita cintai
bukanlah hal yang mudah, sehingga pelariannya adalah dengan mengelak kenyataan
tersebut dan lebih memilih halusinasi yang menenangkan jiwanya.
Untuk cerita terakhir mengenai Reiji dengan
Nanako. Pada poin ini aku suka bagaimana perkembangan tokoh Reiji dan Nanako
yang cukup melekat bagiku dan mempunyai kesan yang kuat.
Aku tidak menyangka pada cerita terakhir ini
akan berakhir seperti itu. Aku pikir, bahkan sudah terbayang akan berakhir
indah, karena melihat nuansa narasinya seperti itu. Eh, pas memasuki paragraf
baru mendekati akhir cerita, perasaan yang awalnya happy seketika
langsung berubah jadi sedih dan gelap, tanpa ada peringatan. Kenapa harus
seperti itu akhir ceritanyaaa!??
Dalam artian, ceritanya sangat bagus tapi
perasaan yang di dapat setelah membacanya berbeda dengan cerita sebelumnya.
Pada cerita ini aku merasa speechless, heart-breaking, bittersweet, campur
aduk, dan tidak terbayangkan bagaimana rasanya kalau di posisi Reiji. Apalagi
pada bagian akhirnya, jujur bagiku itu momen yang sangat emosional sih bagi
pembaca dan menyakitkan. Indah tapi disatu sisi juga tragis.
Dan novel ini ditutup dengan kalimat terakhir
yang indah dan juga penuh akan makna kehidupan. Aku tidak mau tulis kutipannya
disini, teman-teman baca sendiri agar feel-nya lebih dapat dan
berkesan.
Sedikit tambahan, aku suka sosok Kazu yang
selalu tenang dan seolah tau atau menyadari apa yang sebenarnya diinginkan oleh
orang yang ingin kembali ke masa lalu itu. Begitu juga dengan tokoh-tokoh
lainnya, seperti Sachi, Nagare, Reiji, Nanako, Saki, dan lainnya, disampaikan
dengan baik, apik, dan berkesan. Hubungan antar tokohnya juga aku suka dan
menikmati setiap interaksi mereka. Alur ceritanya juga mengalir dan nyaman
diikuti.
Terakhir, kayaknya terlalu banyak apa yang
harus ditulis dalam review ini. Aku suka keseluruhan isi novelnya, mulai dari
penokohannya yang bagus, bahasa dan narasi penulis dalam menyampaikan
ceritanya, sedih dan emosional sudah pasti, penuh akan makna, heart-warming,
memberi kesan positif, optimis dan semangat dalam menjalani kehidupan, dan
meninggalkan kesan yang kuat setelah menutup novelnya. Sangat recommended dari
aku.
Really love this novel. Chef kiss...
My rated: 9/10
Baca juga: Funiculi Funicula (novel kedua)
***
Komentar
Posting Komentar