Judul: Funiculi Funicula: Kisah-Kisah Yang
Baru Terungkap
Penulis: Toshikazu Kawaguchi
Penerjemah: Asri Pratiwi Wulandari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan ke-4, Februari 2023
Tebal: 200 halaman ; 20 cm
ISBN: 9786020663845
BLURB
Funiculi
Funicula, sebuah kafe di gang sempit di Tokyo, masih kerap didatangi
orang-orang yang ingin menjelajahi waktu. Peraturan-peraturan yang merepotkan
masih berlaku, tetapi itu semua tidak menyurutkan harapan mereka untuk memutar
waktu.
Kali ini ada
seorang pria yang ingin kembali ke masa lalu untuk menemui sahabat yang
putrinya ia besarkan, seorang putra putus asa yang tidak menghadiri pemakaman
ibunya, seorang pria sekarat yang ingin melompat ke dua tahun kemudian untuk
memastikan kekasihnya bahagia, dan seorang detektif yang ingin memberi istrinya
hadiah ulang tahun untuk pertama sekaligus terakhir kalinya.
Kenyataan
memang akan tetap sama. Namun dalam singkatnya durasi sampai kopi mendingin,
mungkin masih tersisa waktu bagi mereka untuk menghapus penyesalan, membebaskan
diri dari rasa bersalah, atau mungkin melihat terwujudnya harapan...
***
TERUNGKAPNYA SOSOK ‘SI HANTU’, CERITA YANG LEBIH EMOSIONAL DAN MEMBEKAS DI HATI
Ini adalah novel kedua Funiculi Funicula yang
ceritanya sama pada novel pertamanya, tentang kafe yang bisa membawa seseorang
ke masa lalu atau ke masa depan, dengan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi
atau akan berakhir seperti ‘si hantu’ yang pernah disinggung di novel
pertamanya.
Baca juga: Novel Funiculi Funicula: Before The Coffee Gets Cold
Jujur di novel kedua ini mengungkapkan kisah-kisah
baru terutama kisah pramusaji kafe, Kazu dan hubungannya dengan ‘si hantu’ di
kafe itu. Hal lainnya tentang seputar olahraga rugby, pembuatan kopi, sosok
Kyoko yang selalu kepo dan sosok Miki yang sangat lucu dan menggemaskan.
Yang menarik perhatianku adalah sosok Miki
yang lucu dan menggemaskan, yang membuat cerita novel ini tidak terlalu
tenggelam dalam kesedihan dan haru. Miki disini seperti menghidupkan dan
mencairkan suasana ceritanya. Aku sebagai pembaca senyum dan tertawa sendiri
melihat kelakuannya si Miki.
Akhirnya di novel kedua ini, penulis
menjelaskan siapa sebenarnya ‘si hantu’ itu, walaupun tidak secara gamblang dan
jelas, tapi lebih seperti kepingan atau berupa penggalan-penggalan yang
diselipkan di setiap cerita.
Sedih sangat dan mengharukan juga mengenai
siapa sosok sebenarnya ‘si hantu’ ini dan membayangkan bagaimana perasaan Kazu
dan penderitaanya selama ini yang mengatakan ‘ia tidak berhak untuk bahagia’
dan menyalahkan dirinya sendiri karena membuat sosok itu menjadi ‘hantu’.
Aku suka penulis di setiap babnya memasukkan
potongan ceritanya Kazu dan ‘si hantu’ ini, dan menghubungkannya dengan
beberapa tokoh. Sehingga jalan ceritanya jadi lebih terarah, jelas, dan saling
berhubungan.
Terus terang sepanjang membaca novel ini aku
cukup emosional dan bawaannya selalu ingin mewek terus. Karena cerita yang
disampaikan penulis disini sedikit banyak aku pernah mengalaminya, terutama
pada ceritanya Yukio yang bertemu Kuniyo, ibunya. Jadi setiap kali membaca
ceritanya, aku seperti masuk ke dalamnya dan membayangkan perasaan tokoh atau
membayangkan diriku di posisi para tokoh tersebut.
Pada cerita pertama mengenai Gotaro yang
ingin bertemu dengan sahabatnya, aku mewek sambil nahan-nahan dan air mata
lelaki ini menetes. Jujur aku suka penulis bisa membawakan ceritanya menjadi
sangat emosional dan mengharukan. Apalagi ketika Gotaro tidak bisa
menyembunyikan kebohongannya dihadapan sahabatnya. Wah, itu pecah dah...
“Hal tersulit dalam hidup adalah hidup tanpa
berbohong.” (Hlm. 7)
Namun di cerita pertama ini tidak
diperlihatkan bagaimana reaksi Haruka ketika tahu fakta sebenarnya antara
Gotaro dan sahabatnya. Jadi agak kurang klimaks ceritanya. Bagiku akan sempurna
cerita pertama ini kalau diperlihatkan atau penjelasan sedikit pertemuan Gotaro
dan Haruka. Tapi melihat latar tempat novel ini hanya di kafe saja, jadi
menambahkan cerita Gotaro mungkin bagi penulis bakal keluar dari cerita
asalnya.
Begitu juga dengan cerita kedua tentang Yukio
menemui Kinuyo, ibunya. Melihat perasaan Yukio yang sangat kehilangan,
membuatku merasa terwakilkan dan berempati juga. Suatu hal yang tidak mudah
ketika kehilangan seseorang yang kita cintai, terutama kehilangan sosok ibu.
Rasa putus asa dan menderitanya Yukio ketika
kehilangan Kinuyo, ditambah keadaan hidupnya yang cukup terpuruk, itu terasa
menyakitkan dan membuat dada sesak ketika membacanya. Apalagi melihat interaksi
antara Yukio dan Kinuyo, yang lagi-lagi membuatku mewek dan emosional kembali.
“Bagi orangtua, sampai kapan pun anak
tetaplah anak. Seorang ibu selalu mendoakan kebahagiaan anaknya, selalu
menuangkan kasih sayang, tanpa mengharapkan balasan.” (Hlm. 115)
Tapi di akhir cerita Yukio ini kita
diperlihatkan sebuah harapan dan optimis untuk kehidupan Yukio, dan juga demi
ibunya yang selalu mendoakan kebahagiannya.
Hal menarik adalah penulis memasukkan kembali
tokoh Fumiko yang ada di novel pertamanya ke dalam cerita ketiga ini. Untuk
cerita ketiga ini bagiku lebih ke tragis, menyedihkan dan mengharukan sih. Ada
kutipan dicerita ketiga ini yang membekas dan menenteramkan hati.
“....kalau mulai sekarang kau bahagia, tujuh
puluh hari anak itu berarti dipakai untuk kebahagiaanmu. Dengan begitu,
nyawanya jadi bermakna. Kaulah yang memberi nyawa anak itu makna. Karena
itulah, kau harus bahagia. Yang paling mengharapkan kebahagiaanmu itu adalah
anak itu...” (Hlm. 132)
Pada cerita keempat juga disebutkan juga
kutipan tadi setelah Kiyoshi kembali dari masa lalu, dan kalimat itu memberikan
reaksi terhadap Kazu yang selalu berwajah dingin.
Pokoknya 4 cerita dalam novel ini bagiku
lebih emosional dibanding novelnya yang pertama. Tentu dalam setiap cerita
terkandung makna dan pesan kepada kita sebagai manusia untuk menghargai waktu
dan menggunakan waktu tersebut sebaik-baik mungkin agar tidak menjadi sebuah
penyesalan seumur hidup.
“....Sebesar apa pun penyeselan saya, itu
tidak akan mengembalikan orang yang telah tiada.” (Hlm. 164)
Puncaknya menjelang di akhir novel ketika
Kazu mulai berdamai dengan dirinya sendiri berkat Kiyoshi, dan berkata ia akan
bahagia. Ternyata sosok ‘si hantu’ tersebut memberikan reaksi tak terduga
ketika mendengarnya. Jujur air mata lelaki ini harus menetes yang keberapa
kalinya ketika membaca itu dan ada perasaan lega dan heart-warming juga
seolah beban yang dipikul Kazu selama ini akhirnya terlepas juga.
Aku suka penulis menarasikan para tokoh di
novel ini dengan baik dan apik. Bisa membuat para pembacanya merasa berempati
dan merasa emosional terhadap kisah hidup para tokoh.
Mengenai konsep time-travel di novel
ini sama seperti reviewku pada novel pertamanya, penulis sepertinya memang
tidak ingin membuat ribet tentang konsep perjalanan waktunya. Takutnya itu
bakal memberatkan bagi pembaca, walaupun itu meninggalkan pertanyaan dan
misteri tersendiri sih.
Terlalu banyak apa yang harus ditulis dalam
review ini. Secara keseluruhan aku sangat suka dengan novelnya, lebih emosional
dan bikin mewek, dijelasannya sosok ‘si hantu’ dan hubungannya dengan Kazu,
terus aku suka keterhubungan antar tokohnya, sosok Miki yang lucu, meninggalkan
kesan yang kuat dan jadi renungan tersendiri setelah menutup novelnya. Pokoknya
ini menjadi salah satu novel favoritku dan sangat recommended dari aku. Chef
kiss...
My rated: 9,2/10
***
Komentar
Posting Komentar