Judul: Jika Kucing Lenyap dari Dunia
Penulis: Genki Kawamura
Penerjemah: Ribeka Ota
Penerbit: Baca
Tahun Terbit: Cetakan ke-6, Januari 2023
Tebal: 255 halaman
ISBN: 978-602-6486-43-1
BLURB
Apakah yang akan kamu lakukan jika umurmu tinggal hitungan hari? Apa
perasaanmu jika kamu akan segera mati?
Seorang lelaki muda penyendiri yang bekerja sebagai tukang pos
divonis mengidap kanker stadium akhir. Umurnya tinggal sebentar lagi. Dalam
kekalutan, datang tawaran menggiurkan untuk melakukan perjanjian dengan Iblis
agar hidupnya terselamatkan. Syaratnya: setiap hari dia harus bersedia
menghilangkan sebuah benda yang dia sayangi dari dunia ini.
Jika kamu yang berada pada posisi dia, maukah kamu menerima
tawaran sang Iblis? Jika ya, benda apa yang rela kamu hilangkan? Maukah kamu
menghilangkan mantan pacarmu? Maukah kamu melenyapkan binatang kesayanganmu
dari dunia yang aneh ini?
Novel ini tak hanya asyik dibaca dan sangat menghibur, tapi juga
akan memberi kita pencerahan tak terduga, sekaligus membuat kita tertawa,
menangis, dan merenung.
***
MEMAKNAI ARTI HIDUP, WAKTU, KENANGAN DAN KESEMPATAN
Tertarik membaca novel ini karena judulnya mengenai kucing dan
memberi kesan bakalan sedih dan mewek. Ternyata memang iya. Seperti yang ada di
blurb, novel ini memberikan perasaan campur aduk pada pembaca. Novel ini
bagiku sangat menghibur, ceritanya sederhana, terus ada komedinya juga, dan
menjelang akhir cerita, air mata lelaki ini harus terjatuh dan merenungkan
kembali kisah si tokoh utama.
Alur cerita novel ini sangat ringan dan mudah diikuti, karena
hanya berfokus kehidupan tokoh utama yang mencari arti atau makna kehidupan.
Aku suka bagaimana penulis membangun sikap si tokoh utama yang diawal-awal rela
menghilangkan sesuatu agar nyawanya bertambah satu hari, sampai akhirnya ia
mulai sadar dan mengerti makna hidup itu sebenarnya, berkat dari surat ibunya
yang dititipkan kepada mantan pacarnya.
Kemudian mengenai tokoh Tom yang sempat disinggung ketika kilas
balik perjalanan tokoh utama dan mantan pacarnya ke Argentina, bagiku itu
terlalu singkat dan terkesan mendadak. Walaupun aku mengerti maksud penulis
bahwa tidak ada yang tahu kapan kematian akan datang, tapi tetap saja itu
terlalu singkat.
Seperti judul novelnya yang nantinya akan menjadi cerita utama
juga, aku suka penulis diawal cerita dan setiap babnya selalu menyinggung si
Kubis. Sehingga ketika memasuki bab akhir, cerita yang sudah dibangun dari awal
mengenai hubungan si tokoh utama dengan si Selada lebih terasa matang dan
indah.
Oh ya, momen yang menghibur juga ketika si Kubis bisa berbicara
dengan bahasa manusia dan bahasanya malah bahasa yang kuno atau bahasa Jepang
dulu, seperti ‘sahaya’, ‘Gusti Patih’, ‘Tuanku’, dan itu lucu sih
membayangkannya. Begitu juga sikap si Iblis (Aloha) kepada si tokoh utama yang
lucu, konyol, dan menghibur. Juga tokoh utama disini tidak disebut siapa
namanya.
Hal yang cukup kuat dinovel ini adalah sering kali kilas balik si
tokoh utama mengenai kenangan-kenangannya, entah itu dengan mantan pacarnya,
Tsutaya (teman lamanya), terutama kenangan dengan ayah dan ibunya. Walaupun
terkesan monolog, tapi menurutku penulis bisa menarasikan ceritanya itu dengan
baik dan nyaman diikuti, dan kesan dari monolog tersebut lebih terasa
emosionalnya dan lebih mendalam pesan yang disampaikan cerita tersebut.
Dalam novel ini si tokoh utama lebih erat hubungannya dengan
ibunya dibandingkan ayahnya. Ini bisa dilihat bagaimana kenangan tentang ibunya
selalu muncul di setiap bab dan itu disampaikan dengan emosional. Makanya
setiap kali kenangan tentang ibunya muncul itu cukup membuatku terharu dan relate
dengan hal itu, karena aku pernah mengalami itu. Apalagi mengenai surat
terakhir ibunya sebelum meninggal, momen itu terus terang cukup menyesakkan
dada sambil nahan nangis. It’s really sad...
Terus mengenai hubungan dengan ayahnya, aku bisa mengerti perasaan
si tokoh utama yang mulai berjarak dengan ayahnya dan semakin lama semakin
memburuk. Awalnya aku agar bertanya-tanya, apa penyebab hubungan antara si
tokoh utama dan ayahnya menjadi merenggang. Ternyata hal itu dijelaskan ketika
mendekati akhir novel dan apa yang disampaikan si tokoh utama bagiku itu
menjadi sebuah renungan dan bahan pelajaran juga.
Mengenai akhir dari novel ini, aku suka penulis membuatnya seperti
itu. Memberi kesan memaknai hidup dan kesempatan sekali lagi sebelum terlambat.
Pesan dari novel ini bagiku adalah pentingnya kita memanfaat, menghabiskan, dan
memaknai waktu dan hidup kita sebaik-baiknya.
“Tapi tak ada artinya kalau sekadar hidup. Artinya ada pada
bagaimana kita hidup, bukan?” (Hlm. 227)
Terakhir, walaupun novel ini sangat ringan ceritanya, tapi pesan
dan makna yang terkandung di dalamnya sangat banyak. Dan juga bisa menjadi
bahan pelajaran dan renungan kita dalam memaknai kehidupan. Bacaan yang menghangatkan
hati, membuat kita tertawa, menangis, terhibur, dan juga merenung.
Really love this novel and it’s really recommended for me...
My rated: 9/10
***
Komentar
Posting Komentar