Judul: At Night I Become a Monster
Penulis: Sumino Yoru
Penerjemah: Andry Setiawan
Penerbit: Haru
Tahun Terbit: Maret 2022
Tebal: 300 halaman ; 19 cm
ISBN: 978-623-7351-95-5
BLURB
“Mana
sosokmu yang sebenarnya?
Yang malam,
atau yang siang?”
***
BULLYING, MONSTER, KONFLIK BATIN ACCHI DAN PLOT
HOLE CERITA
Review ini
mengandung spoiler sedikit ^^
Novel ini menceritakan tentang konflik batin
Acchi terhadap perundungan yang dialami teman sekelasnya, Yona. Dalam novel ini
kita akan difokuskan pada tokoh utama, yaitu Acchi yang tanpa alasan apapun,
ketika malam hari ia berubah menjadi monster dan bertemu Yona di sekolah
sendirian. Pertemuan antara Acchi dan Yona inilah yang menjadi fokus cerita
novel ini, dengan alur cerita yang cukup lambat.
Jujur di awal-awal aku agak jenuh dengan
alurnya yang lambat. Ditambah juga penulis terlalu banyak memperkenalkan para
tokoh di awal cerita. Aku sebagai pembaca agak terbebani harus menghapal nama
tokoh-tokohnya. Tapi dengan berjalannya cerita, aku bisa perlahan mengikuti
proses ceritanya.
Baca juga: Review novel I Saw the Same Dream Again Karya Sumino Yoru
Di novel ini juga ada sentuhan magical
realism yang berupa ‘monster’ dan itu cukup detail juga sih penjelasan dan
penggambarannya. Mengenai alasan kenapa Acchi bisa berubah menjadi monster, itu
tidak ada penjelasannya. Seolah penulis memasukkan begitu saja. Makanya perihal
monster ini tidak perlu dipikirkan, karena cuman sekadar menambah rasa dari isi
cerita.
Kemudian, aku suka penulis mengangkat isu “bullying”
dengan sisi yang berbeda. Yang mana Acchi ini bukan pelaku ataupun korban, tapi
secara tidak langsung ikut terlibat juga dalam perundungan tersebut. Tentu apa
yang dilakukan Acchi ada alasannya, dan alasannya itu seperti lingkaran setan.
Ia tahu apa yang dilakukannya salah, tapi
disatu sisi ia ingin hidupnya juga tentram dan damai. Atau bisa dibilang
mengikuti alur anak-anak di kelas. Kalau ia melanggar kesepakatan kelas, maka
ia akan menjadi korban selanjutnya dan dikucilkan.
Jadi posisi Acchi ini seperti penonton dan
harus mematuhi norma tak tertulis di dalam kelas. Disini lah kita melihat
konflik batin Acchi, yang menganggap apa yang dilakukannya adalah ‘benar’, tapi
disatu sisi ia juga merasa bersalah. Disini aku melihatnya bagaimana penulis dengan
bahasanya yang menyindir kehidupan para siswa (masyarakat) yang menganggap
sesuatu yang berbeda itu adalah aneh, aib dan ganjil.
Seolah siswa (masyarakat) itu harus seragam,
sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan. Tertulis maupun tidak tertulis.
Kalau ada yang berbeda dari ketentuan tersebut, maka konsekuensinya akan
dikucilkan dan dirundung. Tidak ada ruang kebebasan berekspresi, takut untuk
melawan dan kita diolah menjadi masyarakat yang monoton yang tidak mau menerima
keberbedaan.
Baca juga: Review Novel I Want to Eat Your Pancreas Karya Sumino Yoru
Dalam novel ini kita diperlihatkan semacam
struktur sosial siswa dalam kelas. Ada yang mencolok (superior), ada yang
biasa-biasa saja, dan ada yang ‘berbeda’. Nah yang berbeda ini biasanya
cenderung menjadi sasaran empuk perundungan. Entah itu karena perbedaan
pemahaman, tidak satu visi misi, atau suatu hal lainnya yang memicu perundungan
tersebut.
Terus, perundungan yang dialami oleh Yona
disini bagiku sangat perih, pedih dan menyedihkan untuk dibaca dan dibayangkan.
Diabaikan, dianggap tidak ada, difitnah, dilempari sampah, dan segala macam
perundungan lainnya. Aku yang baca rasanya kayak tersayat, sakit hati, dan
emosional. Penulis bisa menarasikannya dengan baik dan memantik emosi pembaca
untuk merasakan bagaimana perasaan Yona yang dirundung, juga konflik batin
Acchi yang harus mengikuti norma kelas itu.
Di awal cerita Yona ini dianggap aneh, karena
selalu menyengir, tidak bisa membaca suasana dan cara bicaranya yang kayak
gagap. Ketika diabaikan ia menyengir, ketika sepatunya dibuang ia menyengir,
meja atau bukunya dicoret-coret dengan kalimat kasar ia tetap menyengir.
Ternyata dibalik menyengirnya itu, ada makna yang tidak diketahui orang lain.
Makanya ketika Acchi tahu maksud menyengirnya Yona itu, dari situ ia mulai
bersalah dan menyalahkan diri.
Aku pun ketika membaca, cukup kaget apa
maksud dari menyengirnya Yona itu dan ketika tahu itu rasanya sakit banget dah.
Ya ampun. Makanya aku sempat terpikir dan aku ada ulasan orang juga, bahwa
jangan-jangan Yona ini adalah anak yang berkebutuhan khusus, tapi sengaja tidak
diperjelas oleh penulis.
Di novel ini juga kita diperlihatkan
bagaimana dampak atau akibat dari perundungan terhadap Yona. Itu dijelaskan
ketika Yona menyampaikan apa maksud cengiran yang ia lakukan kepada Acchi. Dari
situ aku menilai bahwa orang-orang terlalu cepat menghakimi sendiri, terlalu
cepat mengambil kesimpulan dan akhirnya salah paham terhadap orang lain.
Aku suka hubungan dan perkembangan karakter antara
Acchi dan Yona yang selalu bertemu di sekolah pada malam hari, perlahan-lahan
semakin akrab dan mulai terbuka satu sama lain. Menjelang akhir cerita, aku
suka ketika Yona menanyakan kepada Acchi, “Mana sosokmu yang sebenarnya? Yang
malam, atau yang siang?” (Hlm. 263)
Selama mengikuti perjalanan ceritanya, aku
teringat dengan pepatah atau kepercayaan Jepang bahwa manusia memiliki tiga
wajah. Dan pepatah itu bagiku sedikit banyak tergambarkan dalam novel ini.
Untuk akhir ceritanya, aku jujur bingung
mendeskripsikannya harus bagaimana. Mungkin perasaan lega setelah mengikuti
konflik batin Acchi. Terutama ketika Acchi mulai sadar mengenai sosok Yona, dan
dari situlah bagaimana perasaan Acchi itu bisa dibilang pecah. Itu terlihat
bagaimana Yona kaget dan menanyakan kenapa kepada Acchi. Aku tidak bisa bilang terlalu
rinci, takutnya terlalu spoiler nanti.
Namun sayangnya dari novel ini banyak plot
hole-nya. Mungkin karena terlalu berfokus pada tokoh utama, banyak
tokoh-tokoh yang lainnya yang harusnya bisa diungkap lebih jauh lagi, yang akhirnya
tidak ada penjelasan dan alasan.
Misalnya konflik awal pemicu perundungan Yano
yang masih dangkal. Bagaimana Yano bisa gampang keluar-masuk sekolah ketika jam
malam? Apakah Yano tidak memiliki orangtua? Dan yang menjadi pertanyaan sampai
akhir novel, apa maksud perkataan Midorikawa bahwa Kasai itu anak yang jahat?
Tapi setidaknya, aku bisa menangkap makna atau pesan dari isi novel ini.
Terakhir, terlepas dari semua itu erus terang
novel ini bagus, isu bullying dari sisi yang berbeda, narasinya enak
diikuti dan memainkan emosi pembaca. Terutama narasi pada konflik batinnya
Acchi dan perundungan Yano. Huhuhu itu sedih sangat....
My rated: 8/10
Baca juga: Review Novel Blue, Painful and Brittle Karya Sumino Yoru
***
Komentar
Posting Komentar