Judul: A Week To Forever
Penulis: Stephanie Zen
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan ke-4, 2019
Tebal: 248 halaman ; 20 cm
ISBN: 978-602-03-9977-5 (PDF)
BLURB
Amaya Jasmine Koesoemo tak pernah menduga,
satu minggu bisa mengubah seluruh jalan hidupnya.
Tujuh hari. Seratus lima puluh empat jam. Dan
bum! Semua masa depan yang telah Amaya rancang bersama Celeb buyar begitu saja.
Setelah enam tahun berselang, pertemuannya
kembali dengan Dirgantara Hidayat, teman satu gerejanya dulu, ternyata mampu
membangkitkan kembali kisah lama di antara mereka, kisah yang dulu diakhiri
bahkan sebelum sempat dimulai.
Dan kini kisah itu menuntut hatinya kembali.
Satu minggu business trip di
Singapura.
Pertemuan tak sengaja dengan Dirga yang
berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, dan semua kenangan di antara
mereka mendesak keluar tanpa ampun.
Beranikah Amaya mempertaruhkan masa depannya demi
masa lalu yang belum tuntas? Meninggalkan tunangan yang mencintainya dan
rencana pernikahan yang telah disusun begitu rapi hanya demi memberikan
kesempatan bagi satu minggu itu untuk menjadi selamanya?
***
KOMENTARKU MENGENAI NOVEL A WEEK TO FOREVER
Jujur sebenarnya iseng aja baca novel ini di
aplikasi iPusnas. Apalagi novel yang genre utamanya romance, sangat sangat
jarang banget mau baca novel romance. Terus terang, aku cukup terhibur dengan
cerita yang dibawakan oleh mba Stephanie Zen di novel ini. Ceritanya ringan,
gak berbelit-belit, dan yang paling aku suka adalah narasinya. Aku merasa ikut
masuk ke dalam ceritanya, ditambah lagi narasi yang selalu memancing penasaran
pembaca dan banyak kalimat bahasa Inggris dimasukkan ke dalam ceritanya.
Alur di novel ini maju-mundur tapi tetap
gampang diikuti ceritanya. Latar tempat sesuai yang tertera di cover, MetroPop,
daerah perkotaan. Yang membuatku agak kaget adalah unsur kekristenan dan
bergereja di dalamnya sangat kental sekali. Mungkin bisa dikatakan sebagai
novel christian-romance, yang sebenarnya gak ada niatan pengen baca yang
menjurus kesitu.
Sebagai seorang muslim, aku pikir membaca
novel ini lumayan menambah referensiku terhadap kehidupan, kebiasaan, dan
adat-adat orang kristen, yang terkadang aku agak susah juga mengikutinya dan
kurang bisa menikmati ceritanya yang sangat banyak bergerejanya. Sedikit saran
dariku, seharusnya penerbit bisa memberikan tanda bahwa novel tersebut memiliki
unsur agama tertentu yang mendominan dalam cerita.
Di novel ini, cerita berfokus pada tokoh
Dirga dan Amaya. Dengan sudut pandang orang ketiga, aku cukup merasa enak
mengikuti jalan ceritanya. Aku suka tema yang diangkat mengenai komitmen dalam
suatu hubungan. Banyak poin-poin dan renungan diri juga dari ceritanya. Tidak lepas juga bagaimana hubungan manusia
dengan Tuhan sebagai tempat berserah diri. Terus terang, saking religiusnya
Dirga, aku yang baca pun merasa diberi khotbah sama Dirga mengenai pentingnya
peran Tuhan.
Hanya saja, ada beberapa yang ingin aku
kritisi. Dirga di novel ini mengatakan bahwa ia bertahun-tahun mendoakan Amaya
sebagai pasangan hidupnya, bahkan setelah berpisah selama enam tahun. Entah kenapa,
Dirga di sini digambarkan bahwa dengan doa saja itu sudah cukup dan menyerahkan
segala sesuatu kepada Tuhan, tanpa adanya usaha dari individunya sendiri. Pas
dipertemukan kembali, Amaya-nya sudah punya tunangan. Terus Dirga-nya galau dan
pasrah kembali, gak ada perlawanan.
Maksudku, selama enam tahun dan selalu
mendoakan Amaya, gak ada kontak sama sekali kah? Terikat karena komitmen
sendiri? Kalo begitu resiko dong harusnya, ketika perempuan yang kita cintai
diambil orang, karena ketidakjelasan yang kita beri. Mau sampai kapan doa mulu
kalo gak ada usaha dari manusianya itu sendiri? Secara tidak langsung ada plot
hole sih di poin ini, misalnya selama enam tahun ngapain aja? Fokus
pendidikan sampai gak ada komunikasi sama sekali? Itu sih agak menjadi
pertanyaan.
Oh ya, konflik di novel ini juga berputar di
situ-situ aja dan gak berkembang. Pokoknya gak jauh-jauh dari bergereja, dan
hampir setiap percakapannya mengenai hal yang religius. Pembaca dibawa ke masa
lalu, ketika Amaya dan Dirga selalu menghabiskan waktu bersama, bla bla bla,
sampai akhirnya Amaya tertarik dengan Dirga, yang lima tahun lebih muda
darinya. Alur pas bagian ini memang agak membosankan, tapi syukurnya narasi
penulis yang bisa menutupi kebosanan alurnya.
Penokohan di sini jujur kurang maksimal dan
seharusnya masih bisa diungkap lebih dalam lagi. Misalnya Erika dan Michael,
memiliki peran yang hampir sama, yakni sebagai teman curhat yang setia
mendengarkan permasalahan Amaya dan Dirga. Tapi sayangnya di novel ini, Erika dan
Michael hanya tokoh sampingan atau pelengkap cerita saja.
Begitu juga dengan tunangannya Amaya, Celeb
yang langsung masuk ke jalan cerita, tanpa adanya pembahasan latar belakang
siapa si Celeb dan si ‘tokoh itu’ yang menjadi plot twist di akhir
cerita. Aku sudah bisa nebak ceritanya bakal dibawa kemana, dan tebakan ku
benar. Sayangnya, aku pikir kalonya mau dibawa ke ‘situ’ arah ceritanya,
seharusnya sebelumnya diceritakan latar belakang tokoh tersebut, agar tidak
terkesan membuat ‘korban’ baru dan agak maksa juga akhirnya. Amaya dan Dirga
terlalu banyak porsinya, yang membuat tokoh lain dapat jatah sedikit banget
pada novel ini.
Tentu novel ini berakhir dengan happy
ending. Pesan dari novel ini menurutku, bahwa kalau orang itu ditakdirkan
selalu bersama, selalu ada jalan bagi mereka untuk kembali dan bertemu satu
sama lain. Itulah rencana indah Tuhan.
Aku cukup menikmati keseluruhan cerita novel
A Week To Forever ini. Dengan jumlah hanya 250 halaman, aku pikir novel ini
cocok mengisi waktu luang teman-teman dengan cerita yang ringan dan narasi yang
enak untuk dibaca.
My rated: 7/10
***
Komentar
Posting Komentar