Judul: I Am A Cat
Penulis: Soseki Natsume
Penerjemah: Laila Qadria
Penerbit: Immortal Publishing
Tahun Terbit: Cetakan ke-2, 2022
Tebal: xvi + 516 halaman ; 14 x 21 cm
ISBN: 978-623-7778-54-7
BLURB
Aku seekor
kucing. Sampai saat ini, aku tidak punya nama. Aku tidak ingat tempat lahirku.
Namun, aku ingat pertama kali bertemu manusia saat sedang mengeong-ngeong di
tempat gelap dan basah. Belakangan kudengar, dia adalah manusia yang ditakuti
kucing. Dia seorang shohei; pelajar yang tinggal menumpang suatu rumah
dan membantu pekerjaan rumah tangga di tempat itu. Dia sering menangkap kucing,
lalu memasak dan mamakannya. Namun, karena saat itu aku belum tahu soal ini,
jadi aku tidak takut sama sekali.
***
SATIRE TERHADAP MANUSIA, KUCING, DAN
SANG PENULIS
Ada kesan tersendiri bisa membaca terjemahan
novel klasik Jepang ini yang kira-kira kalau menghitung ke novel aslinya sudah
berumur 1 abad lebih. Sebuah hal menarik bagiku untuk mengetahui bagaimana
penulis dulu menceritakan ceritanya. Apalagi tokoh utamanya adalah seekor
kucing yang jago satire.
Secara umum novel ini memperlihatkan sindiran
dari sudut pandang kucing terhadap manusia, mengenai perilaku dan sikap mereka
yang egois, keras kepala, tidak tahu diri, juga mengenai kondisi dan status
sosial saat itu, dan banyak hal lain yang aku kira itu masih relevan dengan
keadaan kita sekarang ini.
Di awal cerita aku suka cerita yang dibawakan
penulis. Gayanya yang menarik, unik, menghibur, cukup memberikan kesan pertama
yang baik pas bacanya. Novel ini menggunakan sudut pandang pertama, yaitu si
kucing. Tapi entah kenapa aku lebih merasa sosok si kucing ini malah seperti
narator yang menceritakan keseharian para manusia, terutama keseharian si
Master –tuan Sneeze.
Pada beberapa momen si kucing menceritakan
dirinya yang berkelana, menetap di rumah si Master, bertemu dengan kucing
lainnya di sekitar situ dan hal acak lainnya. Di momen lainnya, sosok kucing
menghilang ketika memasuki perbincangan atau interaksi para manusia. Seolah
sudut pandang si kucing dalam novel ini berubah menjadi sudut pandang manusia.
Bagiku disini, penulis tidak konsisten dengan sudut pandang ceritanya. Bahkan
bisa dikatakan pada bab-bab selanjutnya, lebih banyak sudut pandang manusia.
Kemudian satire terhadap manusia
secara umum saat itu, secara tidak langsung mengerucut menjadi satire terhadap
kelompok tertentu. Terus agak disayangkan sosok kucing yang digambarkan
kehebatan dan keunikannya, pada beberapa saat memudar, menghilang, seolah ini
bukan novel tentang si kucing yang menyindir kehidupan manusia.
Kembali ke gaya penulis membawakan cerita,
secara keseluruhan aku sangat suka. Penulis bisa membahasakan atau menarasikan
suatu hal yang mungkin biasa-biasa saja, diolah menjadi sangat menarik dan menghibur.
Apalagi dengan sudut pandang kucing dan bahasa yang satire, bagiku
penulisnya jago menarasikan hal tersebut. Jenaka tapi makna tersembunyi di
dalamnya.
Sama seperti obrolan-obrolan sehari-hari para
tokoh manusia novel ini yang dibawakan penuh jenaka, sindiran, kritik, dan ada
makna tersendiri. Bagiku penulis disini memperlihatkan bagaimana sosok atau
gambaran manusia yang bermacam-macam watak dan kelakuannya.
Penokohan dalam novel ini cukup jelas.
Bagaimana watak dan sifat mereka yang unik-unik, bijaksana dan eksentrik juga,
terlihat dari interaksi, tanggapan, atau sikap mereka ketika bertemu. Setiap
tokoh disampaikan dengan baik, menarik dan memiliki daya tariknya
masing-masing. Di novel ini juga banyak kita temui referensi sastra barat dan
juga dari Cina yang memperlihatkan ketertarikan penulis pada dunia sastra.
Diantara semua bab atau volume di novel ini,
volume terakhir sangat berkesan dan sangat filosofis juga. Mungkin di bab atau
volume sebelumnya, apa yang diceritakan terkesan biasa-biasa saja, pada volume
terakhir ini pembahasannya jadi lebih dalam dan nilai filosofisnya cukup
kental.
Beberapa kutipan yang menurutku menarik pada
volume terakhir novel ini:
“Kalau kau mau mengomel, mengomel saja.
Paling tidak perasaanmu jadi lega untuk sementara.... tiap orang berbeda. Kau
tidak bisa menyamakan orang lain dengan dirimu.” (Hlm. 333)
“....orang yang memaksakan diri supaya sesuai
dengan dunia yang dihuni saat ini biasanya sering berkelahi, bunuh diri, bahkan
menghasut orang untuk melakukan kerusuhan.” (Hlm. 333-334)
“Hal-hal di luar jangkauan pemahaman manusia
memiliki daya tarik tersendiri yang tak bisa diabaikan begitu saja; sesuatu
yang tak bisa diukur, terasa mulia. Itu sebabnya, orang awam gampang memuji
segala sesuatu yang tak dimengerti, sementara kaum terpelajar sulit
mengungkapkan maksud mereka dengan kata-kata yang mudah dimengerti...” (Hlm. 357)
“Pelayan masyarakat yang punya reputasi buruk
ini kadang-kadang malah menangkap orang tak bersalah atas dasar tuduhan palsu
dan bukti yang sudah direkayasa.” (Hlm. 395)
“Mereka makhluk yang menciptakan penderitaan
mereka sendiri tanpa alasan yang jelas.” (Hlm. 398)
“Begitulah manusia, heboh sendiri minta
diberi tahu di mana letak kesalahan mereka, sementara pada waktu yang sama
mereka mondar-mandir dengan plakat ‘manusia hebat’ terpasang di punggung.” (Hlm. 426)
“.... orang-orang terhormat biasanya punya
moral yang diragukan.” (Hlm. 427)
“Manusia harus selalu mawas diri supaya tidak
dibutakan oleh kebiasaan.” (Hlm. 492)
Sebenarnya masih banyak lagi kutipan menarik
pada volume terakhir ini. Pada volume sebelumnya juga banyak kutipan-kutipan
menarik, tapi lupa aku beri tanda hehe... Intinya pada volume terakhir ini bagiku
sangat padat, berisi, filsafatnya juga ada –Konfusius, Zen, dan lain-lain, dan
banyak nilai filosofisnya.
Terakhir mengenai akhir cerita novel ini,
entah kenapa penulis disini terkesan kehabisan ide dan tidak ada alasan
tertentu yang akhirnya membuat si kucing mati tenggelam. Walaupun akhir
ceritanya agak kurang, tapi melihat isi novel ini secara keseluruhan, aku pikir
masih memberikan kesan, renungan tersendiri bagi pembacanya dan sindiran yang
masih relevan di zaman sekarang.
My rated: 8/10
***
Komentar
Posting Komentar